Efektifitas Hukum Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Di Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak
Efektifitas Hukum Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Di Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta
Oleh :
Sri Yuniarti
PTPAKekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM yang paling kejam yang dialami oleh perempuan. Fenomena ini juga telah menjadi kecemasan bagi setiap negara di dunia, termasuk negara negara maju yang sangat menghargai dan peduli dengan hak hak asasi manusia. Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi di mana saja baik ditempat umum, ditempat kerja, maupun rumah tangga, dan dapat dilakukan oleh siapapun seperti suami, orang tua, saudara laki laki ataupun perempuan. Fenomena kekerasan terhadap perempuan bukan merupakan kelainan individu melainkan karena adanya kesenjangan hak dan kewajiban serta peran laki laki dan perempuan yang disebabkan oleh sistim patriakhi. Akibat dari sistim patriakhi ini mengakibatkan timbulnya laki laki sebagai pihak yang superior atau yang diutamakan,sedangkan perempuan sebagai pihak yang tersubordinasikan atau yang dilemahkan. Akibat lain yang ditimbulkan dari adanya kesenjangan antar status dan peran antara laki laki dan perempuan yaitu timbulnya kekerasan terhadap perempuan berbasis gender ( L.M Gandi Lapian, 2012 ). Selain ketidak seimbangnya relasi antara laki laki dan perempuan, hal ini juga dikarenakan masyarakat Indonesia terlanjur meyakini notion palsu yang menyatakan bahwa secara kodrati perempuan kurang pandai dan lebih lemah dari laki laki, oleh karena itu sebagian masyarakat Indonesia masih percaya dengan adanya pembagian kerja secara seksual yang mensubordinatkan perempuan. Sejumlah steorotipe pun lantas melekat pada kaum perempuan dan laki laki Indonesia, menjadi semacam permakluman bahwa perempuan adalah emosional, bodoh, penakut . Hal hal semacam inilah yang berkembang dalam masyarakat kita yang dapat menyebabkan perempuan menjadi target yang mudah sekali untuk menjadi korban kekerasan ( Archie Sudariarti Luhulima.2000 )
Perjuangan
panjang penghapusan kekerasan terhadap perempuan ( Ktp ) telah dilakukan oleh
berbagai negara sejak lama dan sebagai hasilnya disyahkannya Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on
the Elimination of All Forms of Discrimination againts Women ( CEDAW ) pada
tanggal 18 Desember 1979 melalui persetujuan Majelis Umum PBB yang kemudian di
dinyatakan berlaku pada tahun 1981 setelah 20 negara menyetujuinya dengan
tujuan dapat melindungi dan mempromosikan hak hak perempuan di seluruh dunia
serta merupakan bentuk lain perlindungan yang diberikan kepada perempuan
terhadap stereotipe-stereotipe serta subordinasi yang sudah terlanjur terbentuk
dalam masyarakat baik nasional maupun Internasional yang diwujudkan dalam
prinsip prinsip CEDAW yaitu prinsip non diskriminatif, dalam pasal 1 CEDAW
menyatakan:
Diskriminasi
terhadap perempuan adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang
dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk
mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak hak
asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang Politik, ekonomi,sosial budaya
sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan
mereka, atas dasar persamaan antara laki laki dan perempuan.
Segala
tindakan yang diuraikan tersebut merupakan bentuk diskriminasi perempuan.
Prinsip berikutnya adalah persamaan atau keadilan substantive dalam CEDAW mempunyai
makna bahwa setiap perempuan mendapat persamaan atau keadilan dalam berbagai
aspek, terutama aspek budaya, peraturan dan hukum sehingga perempuan mendapat
bagian sesuai dengan proporsinya tanpa melupakan kodrat yang sudah diberikan
oleh Tuhan itu sendiri. Dua prinsip tersebut merupkan suatu usaha menyampaikan
ke halayak bahwa kekerasan atau diskriminasi terhadap perempuan merupakan
pelanggaran yang nyata dan dilarang yang melahirkan Prinsip yang ketiga yaitu
kewajiban negara yang mana dalam CEDAW negara berkewajiban untuk mencegah,
melarang, mengidentifikasi dan melakukan tindakan, menjatuhkan sanksi terhadap
perlakuan diskriminasi, mempromosikan hak hak perempuan dan persamaan perempuan
dan laki laki. Sebagai wujud penghormatan dan pemenuhan hak asasi perempuan.
Indonesia selain meratifikasi CEDAW juga telah memiliki berbagai peraturan
perundang-undangan misalnya,UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).
UU No.23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), UU
No 21 /2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Trafficking), Konvensi Penghapusan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan
Konvensi Hak Politik. Bahkan pada bulan Mei 2009, Pemerintah Indonesia dengan
dukungan United National Develpment Program (UNDP) telah merumuskan Naskah
Strategi Nasional Akses (STARNAS ) terhadap Keadilan. Starnas ini diharapkan
menjadi bagian dari upaya memperkuat peningkatan kesejakteraan rakyat untuk
mencapai salah satu tujuan rencana pembangunan jangka panjang ( RPJPN tahun
2005 – 2025 ) yaitu “ Indonesia Adil “. Untuk memenuhi akses keadilan tadi
terdapat 8 strategi yang ditawarkan yaitu salah satunya adalah Strategi akses
terhadap Keadilan bagi Perempuan.
Secara
hukum, perlindungan terhadap kaum perempuan telah terbentuk dan sudah
berkekuatan hukum tetap, realitasnya diskriminasi perempuan tetap saja
berlangsung baik secara kultural maupun struktural. Salah satu pelanggaran HAM
perempuan di Indonesia cukup banyak terjadi dalam bentuk kekerasan terhadap
perempuan ( Ktp ) yang mencakup 3 ranah yaitu domestik, komunitas dan negara.
Angka kekerasan terhadap perempuan ( Ktp ) berdasarkan Catatan Tahunan Komnas
Perempuan sejak tahun 2010 terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan
yang sangat tinggi terjadi antara tahun 2011 sampai tahun 2012 yang mencapai 35
%. Sedangkan tahun 2015 meningkat sebesar 9 % . Sementara menurut konteks lokal
Kota Surakarta terjadi kecenderungan yang sama bahwa jumlah kekerasan yang
menimpa perempuan dan anak semakin meningkat yaitu 2011 ada 89 kasus, 2012 ada
173 kasus, 2013 ada 207 kasus.
Sebagai
bentuk respon kepedulian pemerintah daerah atas tingginya angka kekerasan
terhadap perempuan, pemerintah Kota Surakarta mengeluarkan Surat Keputusan
Walikota Surakarta ( SK Walikota Surakarta ) dengan Nomor.462/74-A/1/2006
tanggal 21 Maret 2006 untuk membangun jaringan kerjasama antar institusi lintas
sektor untuk mengembangkan pelayanan terpadu bagi korban kekerasan terhadap
perempuan dan anak di Kota Surakarta atau yang biasa disebut PTPAS. Pelayanan Terpadu
Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS) ini terdiri dari 44 elemen dari berbagai
bidang dan golongan yang ada di wilayah Surakarta. Seperti lembaga swadaya
masyarakat, rumah sakit, institusi penegak hukum, DPRD, dan satuan kerja
perangkat Daerah ( SKPD ) dimana masing masing bidang tersebut juga telah
diberikan peran dan standar prosedur di dalam proses menangani perempuan dan
anak yang menjadi korban kekerasan PTPAS tersebut berbentuk konsorsium yaitu
gabungan dari beberapa institusi atau lembaga atau organisasi yang mempunyai
kepedulian terhadap persoalan perempuan dan anak. Pendirian PTPAS ini berfungsi
untuk melakukan pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi masing masing
Secara aturan atau dasar hukum, perlindungan perempuan terutama perempuan korban kekerasan telah banyak terbentuk, dan pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Kota Surakarta juga telah menfasilitasi adanya Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta ( PTPAS ) sebagai layanan untuk korban kekerasan namun pada realitanya masih banyak sekali kekerasan yang terjadi terutama yang korbannya perempuan di masyarakat. oleh sebab itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN ( Studi Tentang Efektifitas Hukum Di Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta )
Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta ) adalah sebuah lembaga
layanan untuk korban perempuan dan anak yang ada di Surakarta. Sejak awal
terbentuk yaitu tahun 2004 PTPAS berbentuk konsorsium, yaitu gabungan dari
beberapa institusi / lembaga / organisasi yang mempunyai kepedulian terhadap
persoalan perempuan dan anak dan melakukan pelayanan terpadu bagi perempuan dan
anak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Karena bentuknya
konsorsium maka kedudukan masing masing lembaga adalah setara dan sistemnya
jejaring dalam memberikan layanan. PTPAS sudah melakukan 3 kali penandatanganan
kesepakatan diantara anggota. Pada tahun 2004 ditanda tangani oleh16 lembaga,
kemudian diperbaharui tahun 2007 oleh 18 lembaga. Kesepakatan terakhir yaitu
melalui Nota Kesepakatan Nomor 463/2.604.1 tentang Pelayanan Terpadu bagi
Perempuan dan Anak Kota Surakarta ( PTPAS ) tahun 2010-2015 di ikuti oleh 44
Instansi / organisasi dan 4 individu peduli bergabung. Harapannya semakin
banyak lembaga yang bergabung memunculkan secercah harapan bagi masyarakat
serta organisasi yang peduli persoalan perempuan dan anak terhadap pemenuhan
hak korban akan kebenaran, keadilan dan pemulihan. Selain itu peningkatan
jumlah Lembaga terutama KPD yang menjadi anggota PTPAS selaras dengan salah
satu tujuan PTPAS yaitu mendorong peran pemerintah dalam pelayanan dan
perlindungan terhadap perempuan dan anak. Hal ini sejalan dengan regulasi yang
dikeluarkan pada tahun 2010, oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak dengan Permenag PPPA No. 05 tahun 2010 tentang Panduan
Pembentukan dan Pengembangan Pusat Layanan Terpadu (PPT). Didalam
perkembangannya PTPAS masih berjalan berjejaring atau konsorsium dalam
memberikan akses layanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan di
Surakarta hingga berakhirnya MOU tahun 2015
Di tahun 2016 ada perubahan kelembagaan pemerintah daerah melalui Perda No.10 tahun 2016 yang semula bernama Satuan Kerja Pemerintah Daerah( SKPD ) berubah menjadi Oganisasai Perangkat Daerah ( OPD ). Beberapa perangkat daerah mengalami perubahan nama maupun struktur sehingga mempengaruhi akan anggaran dan kebijakan yang ada. Bapermas PP PA dan KB berubah menjadi Dinas PP PA dan PM. Secara khusus ditahun 2017 ada Permen KPPA No.1 tentang Tata Kelola Unit Pelaksanaan Tehnis Perlindungan Perempuaan dan Anak yang menjadi dasar kebijakan beberapa OPD untuk membentuk UPT, tidak terkecuali di Dinas PP PA dan PM Surakarta dengan membentuk UPT PTPAS yang secara teknis melakukan layanan untuk korban kekerasan perempuan dan anak. Diawal pembentukan UPT tidak ada hal perubahan, pemberian layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan berbasis gender masih dilakukan secara jaringan yang kemudian di koordinir oleh UPT PTPAS yang bertanggung jawab kepada Dinas PP PA dan PM.
Dalam
implementasinya penanganan kekerasan terhadap perempuan di PTPAS belum
sepenuhnya efektif hal ini terungkap dalam hasil penelitian yaitu :
1.
Kurangnya kemampuan dari petugas layanan pengaduan untuk Assasment kebutuhan
korban yang menjadi penentu layanan yang akan di berikan.
2.
Kuranganya koordinasi menyebabkan tidak sinerginya program program kerja yang
bisa mendukung tujuan PTPAS, bahkan diantara anggota PTPAS sendiri tidak saling
mengetahui program kerja yang terkait dengan penanganan kasus Kekerasan
terhadap perempuan dan anak dan rehabilitasi korban kekersan terhadap perempuan
dan anak.
3.
Sistim Rujukan yang belum difahami secara bersama antara pendamping dan
penyedia layanan yang berpengaruh pada pendampingan korban saat mengakses
layanan.
4.
SOP yang belum berjalan sebagaimana mestinya terutama pada layanan Medis, yang
seharusnya gratis menjadi berbayar walaupun ada solusi menggunakan BPJS dan
BKMKS untuk kontek Surakarta. Sedangkan untuk korban yang tak berKTP Solo beban
biaya diberikan ke lembaga perujuk. Untuk layanan medis di RSJD juga tidak
gratis melainkan diarahkan BPJS atau Jamkesda dimana korban berasal sedangkan
untuk korban yang tidak memiliki kartu kartu tersebut dikenakan biaya dan
dibebankan pada lembaga perujuk. Sedangkan untuk Layanan hukum terutama
pendampingan perempuan korban untuk melakukan gugat cearai di Pengadilan Agama
maupun Pengadilan Negeri selama ini di lakukan oleh jaringan teutama LSM yang
dalam pelaksanaannya tidak ada kejelasan biaya yang harus ditanggung oleh siapa
terutama pembayaran panjer perkara dan biaya proses dalam penyelesaian kasus
tersebut
5.
Mutasi atau pergantian pejabat mempengarunhi kinerja layanan karena prespektif
yang telah terbangun selam ini terutama di SKPD harus dari nol untuk dibangun
kembali bila ada pegantian atau mutasi pejabat baru selain itu juga belum
adanya dukungan mekanisme distribusi informasi dan belum adanya dokumentasi
rekam jejak PTPAS menjadi alasan mengapa tak terjadi kesinambungan.
6.
Dari sisi kebijakan dan regulasi terkait dengan perlindungan perempuan korban
kekerasan sampai saat ini belum ada. Mengingat sampai saat ini belum adanya
pengesahan Raperda Perlindungan Perempuan dan Anak korban Kekerasan menjadi
Perda.
7.
Minimnya alokasi dan kepastian anggaran dikarena PTPAS merupakan lembaga
struktural yang menempel di OPD yang berbentuk Badan sehingga tidak cukup untuk
biaya operasional PTPAS dan seluruh proses penanganan kasus. .
8.
Belum terfasilitasinya beberapa kebutuhan yang sifatnya teknis untuk proses
pendampingan korban. Fasilitas yang dimaksud adalah sarana dan prasarana
seperti ruang konseling yang belum mengakomodir kenyamanan dan kerahasiaan
korban karena belum ada tempat khusus termasuk juga ruang bermain anak yang
diperlukan apabila korbannya masih anak.
9.
Kurangnya dukungan masyarakat pada korban kekerasan terhadap perempuan dan
anak, malah cenderung sebaliknya stigmasisasi masyarakat baik kepada para
korban maupun anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Dan dilingkungan
keluarga kadang justru menekan korban dan kurang memberi dukungan.
Kehadiran
UPT PTPAS yang mengisi kekosongan Paska MOU PTPAS berakhir tidak mampu
melakukan layanan yang komprehensif dan multidimensi sesuai dengan kebutuhan
korban karena bentuk dan jenis serta dampak kekerasan yang korban terima tidak
hanya satu melainkan banyak dan komplek, sedangkan UPT PTPAS bukan lembaga one
stop service center yang semua layanan ada di dalamnya. Namun kehadiran UPT
PTPAS juga memberi peluang dalam keberlanjutan layanan untuk Korban kekerasan
terutama adalah penganggaran yang pasti karena bentuknya UPT namun UPT tidak
bisa mengkoordinasikan lembaga lembaga seperti Polres, Pengadilan Negeri,
Pengadilan Agama yang garis komandonya vertikal, karena secara setruktural
tidak level sedangkan PTPAS penganggarannya selain kecil juga menempel di
bidang Bapermas PP PA dan KB, namun memiliki kekuatan membangun koordinasi
diluar Dinas terutama lembaga vertikal seperti Rumah Sakit, Polres, Pengadilan
Negeri, Pengadilan Agama dan Kejaksaan. Hal ini dikarenakan PTPAS dibangun
berdasarkan berjejaring melalui
MOU. Agar layanan
korban dapat berjalan
dengan baik perlu adanya strategi yang perlu diambil dari plus minusnya
dua wadah / lembaga ini ( PTPAS dan UPT PTPAS ).
Beragamnya
pengalaman kekerasan yang dialami perempuan korban dan karenanya membutuhkan
pendekatan dan penanganan yang beragam, konsep pelayanan terpadu ini menjadi
langkah maju dalam penyelenggaraan layanan bagi peremuan korban kekerasan..
Keterpaduan layanan yang dimaksudkan adalah menguatnya mekanisme koordinasi
antar institusi pengada layanan, termasuk didalamnya OPD dan intitusi vertikal
seperti Polres,Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama maupun Kejaksaan sehingga
korban semakin cepat terbantu dan tertangani. Melihat peluang dan kendala yang
ada dan pengalaman PTPAS dalam melakukan
layanan serta hadirnya UPT PTPAS maka konsep ideal penanganan Kasus kekerasan
terhadap perempuan bisa dijelaskan sebagai berikut
Untuk keterpaduan layanan dengan berjejaring yang meliputi 5 layanan yaitu: layanan Pengaduan, Layanan Medis, Layanan Hukum, Layanan Rehab Sosial dan Layanan Reintegrasi dan Pemulangan. sedangkan posisi UPT menjadi pelaksana teknis dibawah koordinasi kepala Dinas PP PA PM. Selain itu UPT menjadi upaya strategis terkait dengan penganggaran karena bentuknya UPT dan berada di bawah Dinas kepastian anggarannya tetap ada, kemudian UPT memasuka anggaran didalamnya untuk koordinasi lintas sektoral yang kuasanya ada di jejaring sedangkan untuk koordinatornya bisa di Dinas PP PA dan PM atau BAPEDA sedangkan bentuknya bisa melalui MOU atau nota kesepakatan bersama agar tidak terikat oleh kebijakan. Sedangkan Payung Hukumnya dengan Perda atau Perwali Layanan Terpadu.
kekerasan
terhadap perempuan secara Khusus dapat di gambarkan sebagai berikut (Aroma
Elmina Martha, 2003 ) sebagai berikut :
1.
Kekerasan dalam area Domestik/hubungan intim personal. Berbagai bentuk
kekerasan yang terjadi di dalam hubungan keluarga,anatar pelaku dan korbannya
memiliki kedekatan tertentu.Tercakup disini penganiyayaan terhadap
istri,pacar,bekas istri, tunangan,anak kandung dan anak tiri, penganiayaan
terhadap orang tua, seraangan seksual atau pemerkosaan oleh anggota keluarga.
2.
Kekerasan dalam area Publik. Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi diluar
hubungan keluarga atau hubungan personal lainnya. Sehingga meliputi berbagai
bentuk kekersan yang sangat luas, baik yang terjadi di semua lingkungan kerja (
termasuk untuk kerja kerja domestik ( baby sister, pembantu rumah tangga ), di
tempat umum ( bus, kendaraan umum,pasar restoran,tempat umum lain, lembaga
lembaga pendidikan,publikasi atau produk dan praktek ekonomis yang meluas
misalnya Pornografi,pelacuran maupun bentuk bentuk lain.
3.
Kekerasan yang dilakukan oleh lingkup Negara. Kekerasan fisik seksual dan atau
psykologis yang dilakukan,dibenarkan atau didiamkan terjadi oleh negara
dimanapun terjadinya.Termasuk dalam kelompok ini adalah pelanggaran hak asasi
manusia dalam pertentangan anatar
kelompok dan situasai konflik bersenjata yang berkaiatan dengan pembunuhan,perkosaan(
sistematis ), perbudakan,seksual dan kekerasan paksa.
Terkait
dengan kekerasan yang diterima korban tidak hanya satu bentuk maupun jenisnya,
korban sering pula mengalami siklus kekerasan yang biasanya di sebabkan relasi
personal atau relasi antar individu yang memiliki kedekatan satu sama
lain,apakah karena perkawinan, hubungan pacar maupun hubungan kerja dan
keluarga. Pihak yang lebih lemah, rentan mengalami kekerasan dan sekaligus
kesulitan keluar dari kekerasan yang dialami ( LBH Apik, 2017 ). Dalam siklus
kekerasan terjadi pula pola berulang, yakni adanya konflik dan ketegangan
berlanjut dengan kekerasn, berakhir dengan periode tenang dan bulan madu,
kemudian diikuti kembali dengan ketegangan dan terjadinya kekerasan kembali,
demikian seterusnya. Periode tenang dan bulan madu setelah insiden kekerasan
sering diisi ucapan penyesalan dan permintaan maaf serta sikap yang lebih baik
atau manis dari pelaku. Adanya siklus kekerasan ini menyebabkan korban terus
mengembangkan harapan dan mempertahankan hubungan bahkan sering disertai dengan
rasa kasihan terhadap pelaku,sehingga membuat korban sulit keluar dari
perangkap kekerasan.Bila tidak ada intervensi khusus, siklus kekerasn dapat
terus berputar dengan perguliran cepat dengan kekerasn yang semakin intens atau
kuat ( Kristi Poerwandari dan Ester Lianawati, 2010 )
Layanan
Korban
Seluruh respon dan upaya penangnanan yang langsung di berikan kepeda perempuan korban kekerasn oleh pihak lain inilah yamg dimaksud dengan layanan. Dengan demikian sesungguhnya layanan adalah suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan membantu perempuan ( dan anak ) korban kekerasan agar mampu mengatasi persoalan yang muncul sebagai dampak kekerasn yang dialaminya( Komnas Perempuan, 2001 ). Layanan bagi perempuan korban untuk dapat mengatasi persoalan kekerasan yang dihadapinya memang lebih dahulu dilakukan dan disediakan oleh kelompok kelompok swadaya masyarakat dan baru sejak tahun 1998 negara mulai memikirkan upaya penanganan bagi perempuan korban.( Komnas Perempuan, 2001 ). Sejak awal munculnya kegiatan layanan yang disediakan oleh kelompok- kelompok perempuan dalam masyarakat yang biasa disebut sebagai penyedia layanan menawarkan diri sebagai sebuah crisis center, shalter atau layanan hotlines.
Layanan crisis center biasanya menyediakan dirinya sebagai tempat yang dapat menerima pengaduan dan melayani kebutuhan korban untuk mendapatkan pendampingan psykologis atau jasa mendampingi,menemani manakala para korban perlu ke rumah sakit untuk mendapatka perawatan medis atau kekantor kepolisian untuk melaporkan kejadian yang dialaminya.Bisa juga menyediakan sekaligus layanan hukum yang dapat dimanfaatkan seorang korban apabila dirinya ingin menyelesaiakn secara hukum kekerasan yang dialaminya. Beberapa organisasi penyedia layanan crisis center ada yang tidak berhenti pada layanan yang sudah diuraikan, adapula diantara mereka juga menyediakan shalter atau rumah aman. Yaitu sebuah tempat yang dirahasiakan, manakala dibutuhkan,guna menampung sementara waktu para korban dan anak – anaknya selama kasusnya ditangani, apabila korban dan anak anaknya merasa tidak aman lagi tinggal di tempat tinggalnya.
Selain itu Ada beberapa bentuk layanan korban yang diselenggarakan seperti Layanan berbasis komunitas adalah layanan yang dilakukan oleh individu atau organisasi secara langsung di Komunitas. Penyedia layanan ditingkat komunitas ini mengedepankan pemberdayaan kekuatan lokal dalam masyarakar itu sendiri. Layanan berbasis Rumah Sakit yaitu melakukan layanan bagi korban kekerasan dalam hal medik yaitu dalam perawatan dan penyembuhan luka yang disebabkan oleh tindakan kekersan dalam hal pembuatan visum et repertum yang dapat dijadikan bukti di Pengadilan. Layanan yang dilakukan Negara salah satunya layanan yang di berikan oleh Kepolisian. Dalam sejarahnya pada tahun 1998 telah meluncurkan sebuah tempat pelayanan bagi perempuan korban kekerasan dalam organisasi kepolisian yang diberi nama Ruang Pelayanan Khusus atau disingkat RPK yaitu Ruang khusus yang tertutup dan nyaman di kesatuan Polri dimana perempuan dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan seksual dapat melaporkan kasusnya dengan aman kepada polwan yang empatik, penuh pengertian dan profesional ( Hayati E N, 2001 ).
Sudah ada beragam bentuk layanan terutama sebagian besar dilakukan oleh masyarakat. Namun bekerja sendiri tentunya belum tentu menghasilkan sebuah kerja layanan yang optimal. Disini disadari bahwa korban perlu ada layanan segera untuk menjawab kebutuhan perempuan yang menjadi korban, juga perlu adanya layanan yang efesian , dan pendekatannya kerjasama multidisipliner. Pemerintah melalui Permen KPP PA no 01 tahun 2010. Tentang Standar Pelayanan Minimal ( SPM ) Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak ( KtPA ). SPM KtPA dianggap sebagai kebijakan payung untuk layanan perlindungan korban kekerasan .
SPM mempunyai mandat untuk melaksanakan
lima jenis pelayanan dasar bagi korban yaitu: pelayanan pengaduan, pelayanan
kesehatan, pelayanan rehabilitasi sosial, pelayanan penegakan dan bantuan
hukum, serta pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial. Demikian pula halnya
dengan lembaga layanan yang dibentuk oleh pemerintah maupun non pemerintah,
tidak melakukan pembedaan atau pengkhususan korban berdasarkan jenis kelamin,
kecuali beberapa lembaga non pemerintah yang mengkhususkan pelayanan (hanya)
pada korban perempuan dan/atau anak saja (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia,2002 )
Komentar