Langsung ke konten utama

THEOLOGI DALAM BAB 1 NDP HMI

 THEOLOGI DALAM BAB 1 NDP HMI

Oleh :
M. Heril

Manusia merupakan spesies primate dengan populasi yang terbesar, penyebaran yang paling luas dan ciri memiliki kemampuan untuk berjalan diatas dua kaki serta otak yang kompleks serta mampu membuat peralatan, budaya dan bahasa yang rumit. 

Menurut aristoteles melalui istilah zoon politicon memiliki arti bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan manusia lain. Selain itu, manusia sebagai makhluk social juga berarti memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia akan selalu bergantung pada orang lain.  

Individu didefinisikan sebagai totalitas kemanusiaan, maka masyarakat dapat didefinisikan sebagai sekelompok manusia yang terjalin erat karena sitem tertentu, tradisi tertentu, konvensi dan hukum tertentu yang sama dan hidup bersama. (Tarigan AK, 2007:161) Definisi yang hampir sama juga disampaikan ahli antropologi Koentjaraningrat, yang menyatakan bahwa masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. (Koentjaraningrat, 2009:118). 

Monoteisme berasal dari kata yunani (Monos) yang berarti tunggal dan (Theos) yang berarti tuhan. Kepercayaan bahwa tuhan hanya satu dan berkuasa penuh  atas segala sesuatu. Dalam (Q.S. Al-Baqarah 2:115) kita dapat melihat bahwa Yudaisme dan Nasrani-, penafsiran al quran tentang allah adalah tuhan yang kehadian rohaninya dialami didalam seluruh jagad raya. 

Islam menjelaskan monoteisme dalam cara yang sederhana, dalam bahasa arab adalah (Tauhid). Tauhid berarti satu (berasal dari kata wahid/ ahad). kata ini menyiratkan penyatuan, kesatuan atau mempertahankan sesuatu agar tetap satu. 

Pada bab 1 Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI alinea pertama menyatakan bahwa “manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi.” (PB HMI, 2013:164). Dengan apa yang diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa Manusia memiliki sebuah fitrah yang telah ada sejak proses penciptaannya. Sebab fitrah merupakan bawaan alami yang melekat dalam diri manusia. salah satu fitrah manusia tersebut adalah naluri untuk beragama.(Madjid, 1992:xvii). Pada dasarnya manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam kehidupan ini di luar dirinya. Ini dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan hidup, musibah dan berbagai bencana. Manusia mengeluh dan meminta pertolongan kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskan dari keadaan itu. Ini dialami semua manusia.

Karena fitrahnya tersebut, maka manusia memerlukan kepercayaan yang menjadi tata nilai dalam perjalanan hidup menuju peradaban dan kebudayaan yang lebih baik. Jadi manusia tidak mungkin hidup kecuali kalau mempunyai kepercayaan. (Tarigan AK, 2007:xviii) Kepercayaan yang dimaksudkan adalah kepercayaan kepada suatu wujud Maha Tinggi yang menguasai alam sekitar manusia dan hidup manusia, apapun nama yang diberikan kepada wujud Maha Tinggi dan Maha Kuasa tersebut (Madjid, 2013:xvii). 

Dengan demikian, pemahaman bahwa bertuhan adalah fitrah manusia seperti yang diuraikan di atas akan membawa pemahaman yang mampu membuat umat beragama tidak memaksakan keyakinannya kepada orang lain. Tetapi justru demi kemanusiaan, umat beragama tersebut merupakan manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang benar, tidak akan memaksakan kepada orang lain atau golongan lain

Dilanjutkan pada bab 1 alinea kedua menyatakan “disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat.” (PB HMI, 2013:164) Dalam hal ini Nurcholish Madjid berpendapat, karena manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk percaya kepada Tuhan dan menyembah-Nya, dan disebabkan berbagai latar belakang masing-masing manusia yang berbedabeda satu tempat ke tempat dan dari satu masa ke masa, maka agama menjadi beraneka ragam dan berbeda-beda meskipun pangkal tolaknya sama, yaitu naluri untuk percaya kepada wujud Maha Tinggi tersebut.

Pada lanjutan bab 1 alinea pertama yang menyatakan “selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya” (PB HMI, 2013:164) Hal ini dipertegas pada lanjutan alinea kedua yang menyatakan “karena bentuk- bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar.” (PB HMI, 2013:164). 

Karena latar belakang manusia yang berbeda-beda dan ruang dan waktu manusia juga berbeda-beda, maka menimbulkan bentuk-bentuk kepercayaan yang beranekaragam dalam kehidupan manusia. oleh karena itu, hanya ada dua kemungkinan benar atau salah terhadap bentuk- bentuk kepercayaan manusia tersebut. Kemungkinan pertama semua bentuk kepercayaan itu salah semua, dan kemungkinan kedua salah satu bentuk kepercayaan tersebut benar.

Pada bab 1 alinea ketiga menyatakan “Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai- nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan- ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Disinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tata nilai guna menopang peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.”(PB HMI, 2013:164)

Dilanjutkan pada alinea keempat, menyatakan “Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.” (PB HMI, 2013:164).

Sebagaimana sudah menjadi kenyataan manusia itu hidup tidak mungkin tanpa kepercayaan, namun terlalu banyak bentuk kepercayaan, disini terdapat masalahnya. Semua kepercayaan dan sistem kepercayaan tersebut melahirkan nilai-nilai, dan nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi. Tardisi tersebut cenderung membelenggu, sehingga menghambat perkembangan peradapan dan kemajuan manusia. Tetapi jika manusia tidak memiliki kepercayaan sama sekali juga tidak mungkin.

Oleh karena itu harus ada kepercayaan, tetapi kepercayaan itu harus sedemikian rupa sehingga tidak membelenggu manusia, bahkan menyelamatkan manusia. Itulah kepercayaan kepada Allah, satu-satunya Tuhan, yang Allah ini adalah the High God, Tuhan Yang Maha Tinggi, Tuhan Yang Maha Esa.(Tarigan AK, 2007:xviii) Tuhan yang merupakan asal dan tujuan (sangkan- paran)1hidup manusia dan seluruh yang ada.(Madjid, 2002:xiv)Hal ini lah yang mendasari apa yang terdapat pada bab 1 alinea kedua belas yang menyatakan “Sebagai yang pertama dan yang penghabisan, maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk tata nilai”

Pertama-tama beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Iman itu melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan.(Madjid, 2002:1) Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 156. 

Pada bab 4 alinea ketiga menyatakan “Karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran. Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan Yang Maha Esa.”(PB HMI, 2013:170) Dalam halam hal ini dapat dipahami bahwa, Ketuhanan Yang Maha Esa atau monotheisme atau dalam istilah teknis Islam yang diciptakan para ahli kalam, paham Tauhid, tidak ada sama sekali klaim eksklusifistik Islam.(Madjid, 2002:xxxv) Paham Ketuhanan Yang Maha Esa ini adalah kepercayaan kepada Tuhan yang universal. Tuhan universal sesungguhnya adalah Tuhan seluruh anak manusia. Di muka bumi ini hanya ada satu Tuhan, Tuhan semua umat manusia dari segala zaman dan tempat. (Tarigan AK, 2007:47) Sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an surah al-Ankabut ayat 46.

Ketuhanan Yang Maha Esa adalah inti dari semua agama yang benar. Setiap umat manusia telah pernah mendapatkan ajaran tentang Ketuhanan Yang Maha Esa melalui para rasul Tuhan.(Madjid, 2002:1) Terdapat banyak penegasan dalam al-Qur’an bahwa setiap kelompok manusia (umat) telah didatangi pengajar kebenaran, yaitu utusan atau rasul Tuhan.

Karena itu terdapat titik pertemuan (kalimah sawa’) antara semua agama manusia, dan orang-orang muslim diperintahkan dan mengembangkan titik pertemuan itu sebagai landasan hidup bersama.(Madjid, 2002:1) Di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya, untuk bertemu dalam pangkal tolak ajaran kesamaan yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.(Madjid, 2002:xxxix) Lebih-lebih lagi di Indonesia, dukungan kepada optimisme itu lebih besar dan kuat, karena, pertama bagian terbesar penduduk Indonesia beragama Islam. Kedua, seluruh bangsa sepakat untuk bersatu dalam titik pertemuan besar, yaitu nilai-nilai dasar yang disebut pancasila.

Dengan demikian, titik pertemuan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa akan memiliki implikasi lebih jauh adalah umat beragama akan merasakan persaudaraan satu Tuhan dengan pemeluk agama lainnya. Semua umat beragama adalah penumpang yang sah atas bumi Tuhan ini. Aspek ketauhidan atau

Ketuhanan Yang Maha Esa yang terkandung dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI, dapat menghantarkan pada pemahaman yang substansial dan inklusif terhadap ajaran Islam. Pemahaman seperti ini akan menghasilkan umat beragama yang lebih toleran terhadap penganut agama lain. lebih jauh lagi, dengan pemahaman ini diharapkan dapat menghasilkan umat beragama yang tidak memaksakan keyakinan yang ia yakini terhadap umat agama lain, sehingga ia mampu mengahargai dan menghormati keyakinan umat agama lain. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKSELERASI KEMPEMIMPINAN KADER HMI MENJAWAB ERA BONUS DEMOGRAFI BANGSA

AKSELERASI  KEMPEMIMPINAN KADER HMI MENJAWAB ERA BONUS DEMOGRAFI BANGSA Oleh : HABIB SYUKRILLAH  A. Tujuan 5 Insan Cita Hmi Menjawab Tantangan Era Digital Dan Bonus Demografi 1. Transformasi Kepemimpinan Hmi      Dalam kepemimpinan i transformasional i pemimpin i menciptakan i visi i dan i lingkungan i yang i memotivasi i anggotanya i untuk i berprestasi i melampaui i harapan. i Kepemimpinan i transformasi i di i deinisikan i sebagai i kepemimpinan i yang i mencangkup i upaya i perubahan i bagi i organisasi. i Gaya i kepemimpinan i seperti i ini i akan i mengarah i pada i kinerja i superior i organisasi i yang i sedang i menghadapi i tuntutan i pembaharuan i dan i perubahan. i Pemimpin i transformasi i berperan i sebagai i pendorong, i fasilitator i dan i katalisator. i              Esensi kepemimpinan transformasional adalah sharing of power yang melibatkan bawahan secara bersama-sama untuk melakukan perubahan. Seorang

SEJARAH HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

  Sejarah HMI Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan pada hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H bertepatan tanggal 05 Februari 1947 di Sekolah Tinggi Islam (STI) Jalan Setiodiningratan Yogyakarta. [1]  Lafran Pane, [2]  seorang mahasiswa Tingkat 1 Sekolah Tinggi Islam (STI) yang sekarang berubah nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII), bersama dengan rekan-rekannya mendirikan HMI, yaitu: Karnoto Zarkasyi (Ambarawa), Dahlan Husein (Palembang), Maisaroh Hilal (Singapura), Suwali, Yusdi Ghozali (PII-Semarang), Mansyur, Siti Zainah (Palembang), M. Anwar (Malang), Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi (Malang), Baidron Hadi (Yogyakarta). [3] Ada dua tujuan dasar dibentuknya HMI, yaitu: (1) untuk mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia; (2) untuk menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. [4]  Sebagai upaya mencapai tujuan itu, HMI membentuk struktur organisasi terutama untuk menghadapi dan mengatasai hambatan organisasi. Organisasi HMI